Selamat Datang di Blog Wisata Sangihe bersama saya Stevenly Takapaha, Ayo ke Sangihe Negeri yang penuh dengan Pesona Mari Jaga dan Nikmati Keindahan Alam Sangihe, Lestarikan Kekayaan Budayanya juga nikmat Kulinernya

Kerajaan Manganitu

Istana Raja Manganitu Photo by Stevenly Takapaha pada 20 Agt 2017

1. Raja Liuntolowang 1600 – 1645
Putra Jogugu Nalong dari Tagulandang dan Lokun Patola dari Saluran / Tabukan. Kerajaan Manganitu atau juga dikenal dengan Kerajaan Kauhis sering terjadi pertikaian dengan kerajaan tetangganya mengenai perbatasan, khususnya Kerajaan Tahuna. Pada tahun 1645 terjadi peperangan antara Raja Tolosan dan Raja Buntuan putra Raja Tatohe dari Kerajaan Kolongan / Tahuna. Ke 2 Raja tersebut langsung memasuki medan laga dimana keduanya mengerahkan prajurit-prajurit pilihan dibawah hulubalang-hulubalang yang dapat diandalkan. Dari pihak Raja Tolosan yang menjadi andalannya adalah putranya sendiri dari permaisuri Bowondampel bernama Lantomona sedangkan dari pihak Raja Buntuan adalah saudaranya sendiri bernama Puluntumbage. Dalam peperangan tersebut, Raja Tolosan tewas dan kepalanya oleh laskar Tahuna dibawa pulang ke Tahuna dengan mengadakan pesta pora. Akibat dari mabuk kemenangan tersebut semuanya jatuh tertidur dan kepala raja yang berada ditengah-tengah pesta tersebut tidak ada yang menjaga. Seorang budak perempuan dari Raja Tolosan bernama Salumpito mencuri kepala Rajanya dari tengah-tengah lascar yang tertidur. Seorang dari pengawal bernama Sampaha siuman dan untuk mengamankan kepala Rajanya dan diri Salumpito sendiri, maka Salumpito mengajak berunding dengan Sampaha dimana Salumpito bersedia menjadi isteri Sampaha. Tawaran ini dengan sendirinya diterima oleh Sampaha dan keduanya membawa kepala Raja Tolosan ke Manganitu. Jenasah tanpa kepala dimakamkan ditempat bernama Kumui (Bolase) sedangkan kepalanya setelah diadakan upacara pemujaan dimakamkan di Bowontiala tempat pemakaman Raja-raja Manganitu. Dengan permufakatan keluarga kerajaan Manganitu maka Salumpito dibebaskan dari derajat perbudakan disertai dengan suatu amanat bahwa terkutuklah barangsiapa yang menggolongkan Salumpito dalam derajat budak sampai turun temurun.
  
2. Raja Tompoliu 1645 – 1670
Putra dari Raja Tolosan dari permaisuri ke I bernama Ahung Sehiwu dari Saluran / Tabukan saudara sebapak dari Pahlawan Lantemena. Di jaman Raja Rompoliu permusuhan antara Kauhis / Manganitu agak mereda setelah Pahlawan Lantemena mengalahkan pahlawan Puluntumbage ditempat yang sekarang di kenal dengan nama Bonohan Saghudi Manganitu. Arti Bonoho ialah tenggelam. Saghu ialah air mayat dimana mayat-mayat ke dua belah pihak bergelimpangan. Raja Tompoliu menurut kisahnya adalah seorang Raja yang sakti. Asap rokoknya apabila ditiup ke teluk Manganitu maka seluruh teluk menjadi gelap gulita. Oleh sebab itu apabila ada kapal VOC memasuki teluk Manganitu kapal tersebut dihilangkan arah dan berbalik haluan ke laut bebas. Dari sinilah Manganitu dikenal juga dengan nama Maobungan atau Mahebungan.

3. Raja Bataha Santiago 1670 – 1675
Putra Raja Tompoliu dari permaisuri ke I bernama Lawewe putrid dari Pahlawan Ontare dan isteri Kahiwu Wahu dari Kerajaan Sahbe / Tabukan. Beliau tidak mau mengadakan kompromi dengan VOC dan mengadakan perlawanan dan beliau ditangkap dan dihukum gantung di Tanjung Taruna pada tahun 1675. Jenasah beliau dikuburkan di tempat bernama Bawehungtiwo. . Kubur Raja Bataha Santiago yang berada di karatung I ( nento). klik disini untuk lanjut dan melihat Foto

4. Raja Diamanti 1675 – 1694
Saudara Raja Bataha Santiago yang juga agak keras kepala terhadap VOC. Sewaktu perhujungan Gubernur Padbruggo dari Ternate beliau tidak mau menghadiri pertemuan antara Raja-raja di Sangir yang diadakaan di Taruna. Beliau mempunyai pendirian bahwa lebih baik buang kotoran besar atau dalam bahasa daerah “Ondobeng mengkile” daripada bertemu dengan Padbruggo. Oleh sebab itu beliau dikenal juga dengan nama Carles Piantai atau Carles Diamanti. Namun akhirnya terpaksa juga memenuhi undangan yang ditanda tangani oleh Raja Diamanti diatas kapal de Eendracht di teluk Taruna pada tahun 1675 yang menyatakan bahwa keturunan beliau tidak boleh menjadi Raja lagi. Janji dengan ancaman ini berlaku sedikit waktu di Kauhis dan Manganitu itu karena putranya bernama Ondumang dari permaisuri Tabeha menjadi Raja di Taruna pada tahun 1705. Raja Diamanti mengambil bagian juga dalam perjanjian dengan VOC di Ternate pada tanggal 9 November 1677 dengan Raja-raja Sangir lainnya :
Raja Vasco da Ghama dari Tabukan 
Raja Martin Tatandan dari Taruna 
Raja Aralungnusa dari Tagulandang 
Raja Fransisco Marvius Batahi dari Siau

5. Raja Dotulong Takaengetan 1694 – 1725
Putra Raja Tabukan Fransisco Makaampow Yudha II dengan Elang Sehiwu permaisuri dari pangeran Tanjawa dari Manganitu. Peristiwa menentukan siapa ayah tersebut adalah sebuah cincin emas dan sebuah pisang emas yang melambangkan suatu ikatan yang tidak dapat diputuskan oleh siapapun dimana didalamnya melambangkan suatu pertolongan. Kata Elangsehiwu, Tanjawa adalah suamiku namun Yudha telah memberikan segumpal daging bagiku oleh karena itu aku mintakan mahar sebagian dari kerajaannya. Oleh sebab itu Raja Yudha memberikan wilayahnya dibagian Selatan pulau-pulau Batunderang, Mendaku, Bobalang dan Dakupang. Namun Elangsehiwu belum puas dengan berkata : “Jangan hanya memberikan gumpalannya tapi berikan juga lembarannya”, sebagai tanda tidak puas akan pemberian itu. Dalam bahasa daerahnya kira-kira adalah demikian ,”Abe Ko’ta’eng lobe’e, Celikowon Bakose”. Dengan sindiran tersebut maka Raja Yudha memberikan batas Kerajaan Manganitu dan Tabukan. Raja Yudha memberikan nama Takaengetan, karena Tabukan tidak dapat mengatakan apa-apa lagi sedangkan Tanjawa menamai Dotulong atau Jotulong karena sepeninggalnya ke Ternate Raja Tabukan Yudha telah menolong istrinya. Oleh sebab itu putra tersebut dinamai Takaengetan Jotulong.

6. Raja Don Martin Lazarus / Lazaru 1725 – 1740
Putra Raja Dotulong Takaengetan dari permaisuri Elangsehiwu putri Raja Aghogo dari Tabukan. Sebagaimana halnya maka VOC menjalankan politik main buang Raja-raja atau Sultan-sultan yang berada di wilayah penjajahannya maka Raja Lazaru dibuang oleh Belanda ke Madagaskar pada tahun 1740, dengan 20 keluarga yang setia kepadanya. Pembuangan ini untuk menghindari permusuhan antara Manganitu dan Taruna disebabkan pembunuhan oleh seorang rakyat dari kerajaan Manganitu yang bernama Habibi yang menjadi pahlawan dari Raja Lazaru. Peristiwanya terjadi di teluk Lesa yang menjadi wilayah Kerajaan Tahuna dibawah pemerintahan Raja Manulung Bansage Paparang. Penganiayaan tersebut disebabkan permintaan permaisurinya Dolontongo yang menghendaki daging manusia ditengah-tengah santapan lainnya sewaktu diadakan perayaan hari maulid raja karena segala santapan sudah tersedia yang penuh dengan bermacam-macam ikan yang tidak ada hanya daging manusia. Ditempat tersebut dimana peristiwa itu terjadi terdapat sebuah batu dan sampai sekarang dikenal penduduk sekitarnya dengan nama Batutinggolan. Raja Lazaru wafat di Madagaskar pada tahun 1740. Sebagai data yang perlu mendapat penyelidikan oleh generasi penerus sampai dimana kaitan nama-nama kota di Madagaskar atau sekarang dikenal dengan Republik Malagasi dengan kaitannya pembuangan Raja Lazaru. Terlepas dari arti bahasa Malagasi maka bila dikaitkan dengan pembuangan Raja Manganitu tersebut maka ada beberapa kota yang mengandung arti dalam bahasa daerah Sangir.
1.     Entana Nahipe yang berarti Benua / Negara yang terbuang. 
2.  Pinohipe yang berarti tempat pembuangan atau yang sekarang disebut dalam bahasa Malagasi Vinerive sebuah nama kota. 
3.    Tamatava yang mempunyai pengertian tidak gemuk atau Tamatawa dalam bahasa Sangir juga sebuah nama kota di Malagasi. 
4.  Morin dalam bahasa Sangir atau Lenyap dalam bahasa Indonesia, suatu suku yang mendiami pegunungan Tananarive.
Demikianlah nama beberapa kota di Madagaskar yang apabila dikaitkan dengan sejarah Raja Lazaru dari Manganitu maka kemungkinan ada kaitannya dengan sejarah dari daerah Sangir Talaud terlepas dari pengertian bahasa Malagasi sendiri. Namun penjelasan ini hanya sebagai data karena Raja Lazaru dari Manganitu menurut cerita dibuang ke Madagaskar. Oleh sebab itu orang-orang tua dulu memberi sebutan kepada beliau ilaha I Tuan su Kamu, yang berarti Raja yang berada di Kaam de geode Hoop.

7. Raja Katiandagho 1740 – 1770
Putra Sultan Goraho Darunu Aling dari Mindanao dengan permaisuri Baibudaeng putri Raja Aghogho dari Tabukan dengan permaisuri Lembunsinsale. Mulai dari beliau pusat pemerintahan dari Paghulu dipindahkan ke Manganitu. Menurut legenda beberapa daerah nama aslinya adalah “Liuntuhaseng”. Perobahan nama Katiandagho adalah sewaktu beliau pulang dari Mindanao sebagai utusan dari Tabukan dan Siau untuk membebaskan Pangeran Pahawuatan, Sangiangtinanding, Tukunang, yang ditawan oleh Mindanao pada waktu menyerang Ondong, sebagai pembalasan dendam dengan kesetian seorang pangeran Mindanao bernama Salawe yang dibunuh di Siau sewaktu mengadakan perkunjungan dengan keluarganya ke Ondong. Misi Raja Katiandagho berhasil dan dapat memulangkan mereka yang ditawan. Sewaktu dalam pelayaran pulang dari Mindanao beliau menyinggahi Karatung, di kepulauan Talaud. Para pahlawan Maranti bernyanyi (nesambo) “ I Tuan ligha’ Pa’bali Ke’katiang Pai Dagho”. Mulai saat itulah namanya berobah menjadi Katiandagho, sebagai panggilan yang lazim.

8. Raja Lombansuwu 1770 – 1785
Putra Raja Katiandagho dengan permaisuri Uman Duate. Pada tahun 1785 beliau diberangkatkan ke pulau Balut membantu peperangan antara Portugis dan Mindanao. Beliau sampai wafat tidak kembali lagi ke Manganitu.

9. Raja Darunu Aling Daniel Katiandagho 1785 – 1792

10. Raja Bagunda saudara Raja Darunu Aling 1792 – 1817

11. Raja Dirk Mocodompis Lokenbanua 1817 – 1848

12. Raja Tampungan Jacob Bastian Tamarol 1848 – 1855

13. Raja Monde Hendrik Cornelis Tamarol 1855 – 1860

14. Raja Kamehang Jacob Laurens Tamarol 1860 – 1864

15. Raja Hari Raya Manuel Mocodompis 1864 – 1880

Makam Raja Mangnitu MH Mocodompis di Kampung Barangka Kec. Manganitu Sangihe
 Photo by Stevenly Takapaha 20 Agt 2017


Ter Nagedachtenis Aan Onzen Lieven Vader En Grootvader M. Mocodompis Radja V. Manganitoe Over: 20 Augutus 1880
Photo by Stevenly Takapaha 20 Agustus 2017

Setelah raja Hari wafat pada tahun 1880 maka pemerintahan Kerajaan Manganitu dijabat berturut-turut :  

16. Presiden Raja Tengkue Pantolaeng 1880 – 1882

17. Presiden Raja Johannis Makahekum Manginteno 1882 – 1883

18. Presiden Raja Daniel Katiandagho Kirahang 1883 – 1884

19. Presiden Raja Salmon Katiandagho Wintuaheng 1884 – 1886

20. Presiden Raja Lambert Ponto 1886 – 1894

21. Raja Tampilang Johannis Mocodompis 1894 – 1905 
Raja Tampilang wafat pada tanggal 25 Mei 1923

22. Raja Komisi Willem Manuel Pandosolang Mocodompis 1905 – 1942

Putra Raja Hari Raya dari permaisuri Riawulang. Permaisuri Raja Komisi berasal dari Siau bernama Louise Ella Kansil putri Raja Manalang Dulage Kansil. Dengan perkawinan Raja Komisi dengan permaisuri Louise maka Kejoguguan Tamako oleh Kerajaan Siau di berikan kepada Kerajaan Manganitu dan pusat pemerintahan Kerajaan Manganitu disebut Kerajaan Manganitu Tamako. Raja Komisi karena kesetiaannya kepada Pemerintah Belanda dianugerahi Bintang Kesetiaan sampai 2 kali. Beliau kemudian mendapat hukum pancung oleh Jepang pada bulan November 1944 di Tahuna dan dimakamkan bersama dengan Raja-raja lainnya di Bungalawang Tahuna. 

Demikianlah sejarah Kerajaan Manganitu sejak berdirinya tahun 1600 dibawah pemerintahan Raja Liun Tolosang sampai berakhirnya dibawah pemerintahan Raja Komisi pada tahun 1942.

0 comments: