Blog ini menampilkan Objek dan Daya Tarik Wisata di Kabupaten Kepulauan Sangihe Provinsi Sulawesi Utara Indonesia. Kabupaten ini berbatasan Langsung dengan Negara Filipina
Hari ini para wisatawan berkunjung ke Kampung Hiung kecamatan Manganitu untuk diperkenalkan proses pembuatan sagu.
Sagu adalah tepung atau olahannya yang diperoleh dari pemrosesan teras batangrumbia atau "pohon sagu" (Metroxylon sp). Tepung sagu memiliki karakteristik fisik yang mirip dengan tepung tapioka. Dalam
proses pembuatan tepung sagu, umumnya petani melakukan dengan cara yang
sama. Sagu ditebang dan dikupas kulitnya dan dipotong-potong sepanjang 1-2 m, dibawah ke pinggir kuala (sungai) untuk proses pemarutan.
Batang sagu yang akan diolah menjadi tepung dihancurkan dulu dengan cara
pangkur menggunakan mesin seperti mesin parut kelapa.
Hasil pangkur ini
berupa serbuk-serbuk kayu halus. Serbuk kayu tersebut diletakkan di
pelepah sagu kemudian diberi air sambil serbuk sagu diremas-remas
menggunakan tangan. Di bagian bawah pelepah terletak saringan dari kain
untuk menampung serat kayu yang akan dikembalikan ke pelepah sagu untuk
diberi air dan diremas-remas kembali. Proses ini dilakukan
berulang-ulang untuk mendapatkan pati sagu. Tepung sagu tersebut
dikumpulkan kemudian dimasukkan ke dalam keranjang tradisional diberi lapisan daun, yang lebih dikenal
dengan nama bika
Kata Masamper berasal
dari kata zangvereniging (bahasa belanda), yang berarti paduan suara
masyarakat. Ada juga yang menyebutnya berasal dari kata zang vrij yang
berarti menyanyi bebas. Tradisi ini adalah bagian dari budaya masyarakat etnis
Sangihe-Talaud. Keberadaannya tidak lepas dari proses penginjilan yang
dilakukan oleh para Zending (misionaris Kristen dari Eropa) dalam
memperkenalkan lagu-lagu gerejawi yang digunakan dalam ibadah jemaat yang
diadaptasi dari tradisi lama masyarakat Nusa Utara yakni metunjuke
(bernyanyi dalam kelompok di mana beberapa orang memimpin lagu sambil
berkeliling dan menunjuk-nunjuk seluruh yang hadiri dengan mengikuti irama
lagu) atau mebawelase (menyanyi dalam kelompok sambil “berbalas pantun” dengan
nyanyian).
Dalam tradisi lama sebelum injil masuk di Sangihe-Talaud, Metunjuke
dikenal dengan tiga jenis yaitu: sasambo, kakalumpang dan kakumbaede --
nadanya tidak baku (dengan nada slendro?) karena masyarakat Nusa Utara pra
Zending belum mengenal tangga nada atau solmisasi. Kegiatan ini dilakukan
ketika melakukan pelayaran panjang sambil berdayung di mana orang-orang para
pedayung bernyanyi sampai tiba di tempat tujuan.
Pada sekitar abad ke-18 para Zending datang untuk memberitakan injil dan memperkenalkan
lagu-lagu gerejawi yang digunakan dalam ibadah-ibadah bersama. Ketika menyanyi
bersama dalam ibadah ini dilakukan, tidak ada istilah bahasa lokal yang bisa
mengistilahkannya. Karena itu, para Zending memberikan istilahnya dengan kata
zangvereninging atau juga zang vrij. Karena penyebutan kata asing itu mengalami
kendala untuk diucapkan secara benar, maka masyarakat Nusa Utara melafalkannya
mengikuti dialek setempat dengan menyebutnya masampere.
Jika akan atau sedang melakukan kegiatan bernyanyi bersama (lagu-lagu gerejawi
atau rohani), masyarakat menyebutnya dengan masampere. Dalam perkembangan
selanjutnya istilah masampere beradaptasi dengan bahasa Indonesia atau bahasa
Manado menjadi masamper. Kemudian juga sejak tahun 1990-an muncul istilah baru
yakni pato-pato. Sebutan ini terkait dengan sebuah judul lagu masamper
Menondong Pato (melayarkan perahu atau bahtera) yang dibawakan oleh Group
Masamper pimpinan Max Galatang dan merupakan album rekaman masamper pertama.
Lagu-lagu dari pato-pato berirama gembira sehingga ketika orang mendengarnya
akan terangsang untuk berdiri dan menggerakan tubuh sambil bernyanyi mengikuti
irama lagu.
Tradisi Masamper pada intinya merupakan ungkapan hati nurani selain memiliki
nilai religius dan nilai moral. Selain itu, masamper berisi ajakan, ajaran
moral dan ajaran tata cara pergaulan dalam hidup bermasyarakat yang tersirat
dalam lirik lagu yang bernuansi syair sastrawi. Bertolak dari nilai-nilai
tersebut, maka dalam tiga dekade ini masamper telah diperlombakan, baik oleh
kelompok organisasi sosial kemasyarakat maupun organisasi gereja dan
kelembagaan lainnya.
Sejarah masamper tidak
lepasa dari upaya Zending, dalam hal memperkenalkan lagu-lagu yang digunakan
dalam ibadah jemaat. Namun, sebelum injil masuk ke kepulauan sangihe talaud,
masamper ini sudah ada dan dikenala dengan nama tunjuke. Tunjuke terdiri dari
tiga macam yaitu: sasambo, mekarumpang dan kakumbaede. Menyanyi (bahas sangir :
megantare) secara bersama dalam bentuk berkelompok merupakan kegemaran orang
sangihe. Misalnya ketika melakukan pelayaran panjang sambil berdayung,
orang-orang sangihe pun bernyanyi sampai sampai tiba di tempat tujuan.
Pada abad
ke-15 yaitu ± tahun 1565 para Zending datang untuk memberitakan injil dan
didalamnya pula memperkenalkan nyanyian-nyanyian rohani yang biasa digunakan
dalam ibadah. Pada waktu itu orang-orang sangihe memang sudah gemar menyanyi,
walaupun belum mengenal solmisasi.
Bernyanyi secara kelompok ini,
oleh para zending disebut zangvereniging (bahasa belanda), yang berarti
kelompok menanyi. Oleh karena sebutan ini adalah bahasa asing maka, oleh
orang-orang sangihe terlafalkan berdasarkan dialek bahasa sangihe samper. Bila
kegemaran bernyanyi bersama ini dilakukan, maka oleh orang-orang sangihe
disebut masamper dan dalam perkembangan selanjutnya masamper juga disebut pato pato.
Sebutan ini terkait dengan sebuah judul lagu masamper. Pato dalam bahasa sangir
berarrti perahu atau bahtera. Lagu pato-pato ini ketika dinyanyikan bisa
membuat orang menyanyi atau orang yang mendengarkan terangsang untuk berdiri
dan menggerakan tubuh sambil bernyanyi mengikuti irama lagu.
Nilai-nilai yang terkandung dalam masamper
Masamper sarat dengan ungkapan hati nurani selain memiliki nilai religius dan
nilai moral,
masamper mengjak dan mengajari tata cara pergaulan hidup masyarakat sangihe dan
pengajaran itu dirangkaikan dalam syair lagu yang kemudian dinyatakan nyaian
baik dalam acara sukaxita maupun dukacita
Masamper meiliki nilai-nilai yang tertanam dalam kehidupan masyarakat maupun
dalam kehidupan setiap pribadi pelaku atau peminat kesenian masamper.
Nilai-nilai itu adalh:
• Nilai kebenaran
Dikatkan nilai kebenaran karena masamper dapat diterima secara akal sehat
manusia sehingga keasliannya tidak tergoyakan
• Nilai keindahan
Nilai keindahan itu bersumber pada perasaan manusia. Budaya masamper merupakan
ekspresi dari jiwa masyarakat yang melukiskan tentang perenungan, pengalaman
tentang keindahan serta diungkapkan pula kesadaran akan pentingnya kebersamaan
dalam masyarakat yang penuh kekeluargaan. Semua itu diungkapkan lewat nyanyian
bersama dengan alunan vokal dan gaya bahasa indah serta diperindah lagi dengan
ciri khasnya berbalas balasan sehingga asik dipandang, didengar, mapundirasakn
• Nilai moral
Nilai ini juga disebut kebaikan.
Dalam hal ini, ketepatan dalam mebalasa lagu merupakan unsur yang paling utama,
yaitu setiap nyanyian yang dinyanyikan tidak dinyanyikan sembarangan, melainkan
setiap tema lagu dan makna lagu yang dinyanyikan lebih dahulu menjadi patokan
untuk nyanyian berikutnya. Oleh karena itu, dalam masamper sangat diperlukan
kemampuan mengiterpretasikan lagu yang dinyanyikan, sekaligus menyiapkan lagu
agar balasannya tepat sesuai tema dan makna lagu.
• Nilai religius
Yang dimaksudkan di sini adalah nilai kerohanian. Hal ini dilakukan oleh
manusia kepada Tuhan sehingga, semua mhluk yang bernafas menyembahnya. selain
memiliki nlai kesenian masmper juga mengandung unsur-unsur dan makna tertentu.
Unsur-unsur yang dimaksud itu adalah musik atau vokal sebagai alat pengngkapan
dan unsur gerak sebagai penunjang dalam pengungkapan pesan atau makna lagu ang
dinyanyikan. Sementara itu unsur mebawalase dan unsur ketepatan dalam membalas
lagu sebagai suatu proses dialog
dan merupakan ciri khas masamper. Hal-hal inilah juga menentukan kelanjutan
dari masmper
Dalam perlombaan,
jenis-jenis lagu dibagi dalam beberapa kategori seperti:
1. Pertemuan.
2. Pujian kepada Tuhan
3. Perjuangan/peperangan rohani
4. Perjuangan/peperangan badani
5. Percintaan rohani
6. Percintaan badani
7. Cinta-kasih orangtua
8. Sastra (antara lain pelayaran, lingkungan hidup, dan pengajaran/moral)
9. Perpisahan
10. Dll.