Tari ini awalnya berasal dari kebiasaan para tentara di Nusa Utara pada
jaman raja-raja dahulu. Sebagian prajurit yang berasal dari pulau-pulau
kecil, daerah
pantai atau memiliki latar belakang keluarga nelayan, disaat melepas
lelah mengadakan rekreasi sambil menari dan menyanyi. Dalam kegembiraan
ini, gerakan gesit bersemangat khas prajurit bercampur
dengan gerakan yang biasa dilakukan nelayan. Kerinduan terhadap
kehidupan masa kecil diungkapkan dengan cara menirukan gerakan-gerakan
orang melaut. Dengan dipandu seorang Pangataseng, para penari Empat
Wayer bergerak berirama mengikuti kebiasaan nelayan saat hendak turun
melaut, formasi perahu, gerakan mendayung, serta menggunakan jala dan
peralatan menangkap ikan lainnya. Tersirat juga luapan kegembiraan saat
membagi hasil tangkapan dan membawa pulang untuk keluarga, sebuah nilai
luhur dalam kesahajaan nelayan.
Tari Gunde
Tari gunde berawal dari tari lide, tari lide itu (tari berkelompok)
adalah tarian penghantar roh orang yang menjelang mati dalam upacara
sundeng. Selanjutnya berinkarnasi menjadi salai (tari tunggal). Setiap
penari salai dipilih Raja manganitu untuk menjadi penari istana di
istana kerajaan. Lalu tari salai yang dulunya tari tunggal ber reinkarnasi lagi menjadi tari berkelompok.Tari gunde yang dulunya adalah
tarian rakyat akhirnya berubah menjadi tarian istana. Awalnya tari
gunde hanya di pertunjukan pada saat menerima tamu penting kerajaan.
Kemudian menjadi sakral yang menunjukan kesucian seorang wanita sangihe.
Pengiring gunde adalah tagonggong yang disertai sambo. Gunde terdiri
dari 4 babak berdasarkan urut lagu sasambo. Lagung
balang, Sonda, Duruhang dan Sasahola. Pukulan tagonggong terdiri dari 4
macam juga yaitu Tengkele Balang, Tengkele Sonda, Tengkele Duruhang
dan Tengkele Sasahola